-->
Subscribe

BENARKAH SEMUA SPT MASA PPN HARUS MENGGUNAKAN APLIKASI ETAX?

Diposting oleh begawan5060 on Jumat, 02 Oktober 2015

Gonjang-ganjing penolakan SPT Masa PPN karena tidak menggunakan aplikasi eTax, semakin marak. Apakah yang mendasari penolakan tersebut? Benarkah bahwa memang perangkat penerimaan SPT Masa PPN “lama” sudah ditiadakan? Ataukah salah penafsiran oleh petugas KPP? Di sini saya mencoba mengupas pokok masalahnya dan mencoba mendudukan ke porsi yang benar. 
Seperti kita ketahui bahwa masalah efaktur, diatur dengan PER-16/PJ/2014, sehingga apabila ada bahasan mengenai SPT Masa PPN terus merujuk ke PER-16 adalah sangat tidak pas. Tidak semua PKP diwajibkan efaktur, pengecualiannya diatur di Pasal 2 ayat (2) bunyi selengkapnya : 
Kewajiban pembuatan e-Faktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak : 
a. yang dilakukan oleh pedagang eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012;
b. yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Toko Retail kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16E Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009; dan 
c. yang bukti pungutan Pajak Pertambahan Nilainya berupa dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009

Muncul pertanyaan, kenapa mereka ini dikecualikan? Jawaban sangat jelas, karena PKP jenis ini “niscaya” menerbitkan FP “lengkap”, mereka hanya menerbitkan FP “Gunggungan” dan Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak (Dokumen lain). Berdasarkan pertimbangan inilah mereka dikecualikan. Karena dikecualikan, maka mereka tidak wajib pula meminta Sertifikat Elektronik (SE), dan tidak perlu juga memiliki aplikasi etax yang teraktivasi. Atau kalau boleh kita perluas pemahamannya dapat kita simpulkan bahwa semua PKP yang tidak menerbitkan FP “lengkap” belum wajib efaktur. 

Muncul Pertanyaan berikutnya, kalau mereka dikecualikan wajib efaktur, sehingga tidak wajib meminta SE dan tidak punya aplikasi eTax, SPT PPN-nya dibuat memakai aplikasi eSPT yang mana? Jawabannya sangat jelas, menggunakan aplikasi eSPT PPN “lama” (eSPT PPN 1111). 
Praktek di lapangan, pelaporan SPT Masa PPN “lama” ini ditolak, dan diwajibkan membuat SPT PPN dengan menggunakan aplikasi eTax, tanpa dijelaskan kenapa ditolak dan merujuk pada ketentuan yang mana.. 

Menyusul PER-16/PJ/2015 yang mengatur tentang efaktur, terbitlah PER-29/PJ/2015 yang mengatur tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian SPT Masa PPN. Di dalam PER-29 ini sangat jelas diatur bahwa bagi PKP yang dikecualikan dari kewajiban efaktur , maka pembuatan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi eSPT PPN “lama” (eSPT PPN 1111), simpulan ini merujuk pada : 
  1. Pasal 3 ayat (1) : SPT Masa PPN dapat berbentuk formulir kertas (hardcopy) atau dokumen elektronik.
  2. Pasal 3 ayat (3) : Aplikasi yang dipergunakan PKP untuk membuat SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk dokumen elektronik, yaitu : Aplikasi e-SPT atau Aplikasi e-Faktur. Dari dua ayat tersebut sudah cukup jelas, bahwa SPT Masa PPN dapat dibuat dengan menggunakan Aplikasi e-SPT atau Aplikasi e-Faktur.. 
Jadi...., apabila masih ditolak, sampaikan melalui pos atau ekspedisi..


Selengkapnya ..

SKEMA IMPOR FP KELUARAN PADA APLIKASI E-FAKTUR

Diposting oleh begawan5060 on Selasa, 02 Juni 2015

Apabila kita akan menerbitkan Faktur Pajak Keluaran (FPK) dengan jumlah yang banyak, maka yang paling praktis adalah menggunakan fasilitas impor. Namun entah kenapa format skema impornya dirancang sangat aneh dan sangat menyulitkan para pengguna.

Berdasarkan pertimbangan tersebut saya mencoba membuat aplikasi penolong untuk memudahkan “mengisi” data FPK ke dalam skema impor efaktur.

Klik di sini. untuk mencobanya..

Selengkapnya ..

Futsal

Diposting oleh begawan5060 on Minggu, 25 Januari 2015

Sore itu, sedang enak-enaknya nongkrong di depan rumah sambil ngopi, ujug-ujug sobatku dating. Belum juga sempat duduk udah nerocos, “Kang, aku mau tanya, boleh khan?”
“Ndak boleh, duduk dulu, ngopi dulu, baru kita ngobrol,” sahutku.
Setelah nyruput kopinya, sobatku langsung membuka pertanyaannya. “Gini lho kang, berkat doa kakang saya sekarang punya usaha futsal. Yang jadi masalah adalah gimana saya ngetung pajaknya? Maksud saya PPh-nya. Saya sudah tanya ke sana ke mari, ada yang bilang kena PPh Final ada juga yang bilang PPh “biasa”. Mana sih yang bener, kang?”
“Tanya ke sana ke mari, itu maksudmu piye?”
“Maksud gue, tanya ke orang pajak, juga ke orang yang biasa ngurus pajak,” sahut sobatku pake dialek Betawi.
“Yang bilang kena PPh Final itu, karena kamu dianggap memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan. Sedang yang bilang kena PPh “biasa” karena menganggap kamu menerima penghasilan dari usaha dan kegiatan biasa, tapi mulai 01 Juli 2013 bisa juga kena PPh Final 1% kalau omset setahun belum melebihi 4,8 milyar,” jawab saya mulai menerangkan.
“Tetap nggak mudheng,” sobatku menyahut.
“Baik, sekarang duduk manis dan dengerin penjelasan gue,” jawab saya ikutan pake dialek Betawi.
“Gini, lho le,” saya biasa memanggil sobatku dengan kata “thole” yaitu panggilan akrab dari bahasa Jawa yang dipake kepada seseorang yang lebih muda.
“Mereka yang bilang dikenai PPh Final itu karena menganggap usaha futsal itu adalah sama dengan usaha persewaan tanah dan/atau bangunan, tapi apa memang benar demikian? Mari kita runut ketentuan yang mengatur.”
Objek PPh Final atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berdasarkan PP Nomor 29 Tahun 1996 dan telah diubah dengan PP Nomor 5 Tahun 2002, adalah atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa :
1.       tanah,
2.      rumah,
3.      rumah susun,
4.      apartemen,
5.      kondominium,
6.      gedung perkantoran,
7.      rumah kantor,
8.      toko,
9.      rumah toko,
10.   gudang dan industri
Kemudian diubah/ditambah oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 394/KMK.04/1996, objeknya menjadi atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa :
1.       tanah,
2.      rumah,
3.      rumah susun,
4.      apartemen,
5.      kondominium,
6.      gedung perkantoran,
7.      pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya,
8.      rumah kantor,
9.      toko,
10.   rumah toko,
11.    gudang dan bangunan industri
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa objek PPh Final atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan sudah pasti atau merupakan positif list, tidak boleh menambah atau mengurangi dengan penafsiran sendiri. Dengan demikian, kalau tidak disebutkan dalam positif list tersebut, bukan merupakan objek PPh Final atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.
Sebagai contoh : rumah sakit, gedung bioskop, gedung olah raga, lapangan golf atau lapangan olah lainnya, karena tidak disebutkan dalam positif list tersebut, maka bukan merupakan objek PPh Final atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.

“Lapangan futsal tak ubahnya seperti lapangan golf, lapangan tenis, lapangan sepak bola atau lapangan olah raga lainnya. Sekarang sudah mudheng, apa belum?” tanya saya.
“Siiip,” sahut sobatku sambil ngeluyur pulang tanpa pamitan.

Selengkapnya ..

Patch eSPT Masa PPh 21 v.2.1.... Hasilnya?

Diposting oleh begawan5060 on Selasa, 21 Januari 2014

Dengan diluncurkannya patch eSPT PPh 21 v.2.1 maka sudah menjawab keluhan saya tentang tidak bisa meng-input data atas penghasilan bruto pegawai tidak tetap yang tidak/belum terutang pajak dalam eSPT. 
Di versi baru ini (v.2.1) kita melaporkan penghasilan bruto pegawai tidak tetap dengan jalan diisikan secara langsung di menu SPT Induk, karena di tab B.1 Daftar Pemotongan, mulai dari nomor 1 sampai dengan nomor 11 seluruhnya editable, yang di versi sebelumnya (v.2.0) tidak bisa dilakukan, karena seluruhnya non editable. Namun demikian versi baru ini malahan kacau, yaitu :
  1. Dalam baris jumlah (nomor 11) tidak secara serta merta menjumlah sendiri, kita harus menjumlahnya sendiri secara manual;
  2. Tab B.1 Daftar Pemotongan mulai dari nomor 1 sampai dengan nomor 11 seluruhnya editable, dengan demikian bisa saja kita langsung mengisi SPT Induk tanpa terlebih dulu melalui menu lainnya, sebagaimana di versi sebelumnya (v.2.0);
  3. Data yang sudah kita input di SPT Induk dan sudah kita simpan akan masuk dalam database maupun hasil cetakan, tetapi apabila menu SPT Induk kita tutup dan kemudian dibuka lagi maka akan menampilkan data semula, berbeda dengan data yang kita simpan;
Dengan demikian apabila sampai dengan deadline pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari 2014 belum ada update lagi, maka saya ingin mengingatkan kepada para sahabat sekalian bahwa :
  • Apabila kita telah selesai meng-input data di eSPT, jangan langsung percaya, terutama yang mengisi/menginput penghasilan bruto pegawai tidak tetap; 
  • buka SPT Induk, teliti kembali dan hitung secara manual;
  • apabila memang sudah benar, segera simpan, cetak, dan buat file csv-nya untuk dilaporkan;
  • Simpan arsip cetakan SPT Induk baik-baik, karena apabila kita ingin mencetaknya kembali, tampilan di SPT Induk sudah berbeda, dan kita juga nggak yakin apakah data yang kita simpan masih tetap atau sudah berubah/diubah; 
  • apabila aplikasi sudah ditutup, kemudian SPT Induk dibuka kembali dan berbeda dengan hasil cetakan, abaikan saja;
  • dan....., selamat bingung..

Selengkapnya ..

SPT Masa PPh Pasal 21 “baru” dan e-SPT

Diposting oleh begawan5060 on Jumat, 17 Januari 2014

Setelah hampir delapan bulan sejak diterbitkan Per-14/PJ/2013 yang menetapkan bentuk formulir baru SPT Masa PPh Pasal 21
yang diberlakukan mulai masa pajak Januari 2014, maka Direktorat Jenderal Pajak meluncurkan SPT Masa PPh Pasal 21 elektronik (e-SPT).
Seperti saya duga sebelumnya, program e-SPT ini belum dapat mempermudah dan mempercepat para Wajib Pajak dalam menyiapkan SPT Masa PPh Pasal 21 untuk dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak. Sebagai catatan ada beberapa hal yang seyogyanya segera dapat dilakukan perbaikan (update) oleh Direktorat Jenderal Pajak, yaitu :
·     Penghitungan pajak secara bulanan atas penghasilan pegawai tetap, masih dihitung sendiri, belum “disediakan” oleh e-SPT;
·     Daftar Pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap (form 1721-I) bulanan, tidak dilengkapi menu cetaknya;
·     Daftar Pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap (form 1721-I) tahunan, tidak dilengkapi menu cetaknya;
·     Tidak ada menu untuk meng-entry jumlah pegawai tidak tetap dan jumlah penghasilan brutonya apabila penghasilan para pegawai belum/tidak dipotong PPh Pasal 21, sedangkan hal ini harus dilaporkan/diisikan di SPT Induknya;
·     Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Tidak Final (1721-VI) dan Final (1721-VII) tidak memuat identitas Pemotong Pajak, tetapi hanya memuat identitas yang berhak menandatangi Bukti Pemotongan;
·      Dalam hal melakukan impor data bukti potong ke database e-SPT, sering terjadi masalah, tidak semudah sebagaimana di program e-SPT PPN 1111.

Sebagai upaya untuk mempermudah dan mempercepat dalam menyiapkan SPT Masa PPh Pasal 21, saya mencoba membuat aplikasi Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap dalam satu tahun kalender untuk tahun 2014 dan seterusnya, dilengkapi dan meliputi :
·         Metode Gross Up dan Non Gross Up;
·         Pegawai lokal & ekspatriat;
·         Pegawai yang menerima uang rapel dalam tahun berjalan;
·         Pegawai yang berkerja selama 12 bulan;
·      Pegawai yang berkerja setelah bulan Januari (bekerja dalam tahun berjalan), baik yang benar-benar pegawai baru maupun pegawai baru pindahan dari satu pemberi kerja yang sama;
·     Pegawai yang berhenti berkerja dalam tahun berjalan, bulan di mana pegawai berhenti merupakan masa pajak terakhir;
·      Pegawai yang ber-NPWP dlm tahun berjalan, masa pajak di mana pegawai dimulai ber-NPWP secara otomatis telah menghitung kembali PPh Pasal 21 dalam masa pajak sebelum ber-NPWP;
·      Data penghitungan otomatis tertuang dalam formulir 1721-A1 (dapat diakses masa kapanpun, tidak hanya bulan Desember);
·         Dilengkapi dengan form Slip Gaji;
·         Lembar Penolong secara otomatis terisi, untuk keperluan impor ke database e-SPT;
·       Form 1721-I Bulanan & Tahunan yang secara otomatis terisi, bagi yang masih melaporkan dengan cara hardcopy (non eSPT)

Bagi yang berminat klik saja di sini.

Selengkapnya ..

KEWAJIBAN BER-NPWP BAGI ORANG PRIBADI

Diposting oleh begawan5060 on Kamis, 24 November 2011

Meskipun sudah umum dan banyak dibicarakan, tetapi menurut saya masih sangat relevan untuk dibahas karena masih banyak kekeliruan dalam memahami tentang kewajiban ber-NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).
Banyak orang beranggapan bahwa apabila seseorang sudah ber-NPWP, maka sudah mulai harus bayar pajak. Dan apabila belum ber-NPWP tidak ada kewajiban membayar pajak. Pemahaman inilah yang mendorong orang untuk berusaha tidak usah ber-NPWP kecuali sangat terpaksa. Pemahaman ini sudah barang tentu tidak benar, bahkan hanya sekedar memberikan sanggahan misalnya, seperti ini :
  1. Apabila besok mau meninggal, baru ber-NPWP hari ini sehingga hanya memenuhi kewajiban bayar pajak satu hari saja, bukan begitu?
  2. Meskipun belum ber-NPWP, bukankah tetap bayar pajak/tetap dipotong pajak apabila kita memperoleh penghasilan dari pemotong pajak.

Kapan seharusnya ber-NPWP?
Untuk mengetahui kapan seharusnya kita ber-NPWP, harus dipahami dan dimengerti terlebih dulu syarat timbulnya utang pajak.
Utang pajak akan timbul apabila memenuhi syarat kumulatif :
  1. Memenuhi kewajiban pajak subjektif; dan
  2. Memenuhi kewajiban pajak objektif.
Memenuhi kewajiban pajak subjektif artinya ada subjeknya, atau ada orangnya dan memenuhi kewajiban pajak objektif artinya ada objeknya atau ada penghasilannya. Apabila hanya memenuhi salah satu syarat, belum timbul utang pajak.

Agar lebih jelas lagi saya ilustrasikan sebagai berikut :

A__________B____________C_____________D______________E
  • Di titik A Tuan Ahmad lahir di Indonesia; mulai di titik A itulah muncul kewajiban pajak subjektif, namun karena belum berpenghasilan, maka belum muncul utang pajak.
  • Dalam perjalanan hidupnya, di titik B Tuan Ahmad mulai berpenghasilan tetapi belum melampaui Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Dengan demikian mulai di titik B sudah memenuhi kewajiban pajak subjektif sekaligus memenuhi kewajiban pajak objektif, sehingga akan timbul utang pajak, meskipun sebesar Rp. 0
  • Di titik C, penghasilan Tuan Ahmad sudah melampaui (PTKP). Dengan demikian mulai di titik B timbul utang pajak lebih besar dari Rp. 0
  • Di penghujung perjalanan hidupnya, di titik E Tuan Ahmad meninggal dunia. Dengan demikian mulai titik E kewajiban pajak subjektifnya telah berakhir, sehingga tidak lagi timbul utang pajak, meskipun (misalnya) penghasilannya masih berlanjut.

Berdasarkan ilustrasi di atas, maka Tuan Ahmad harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP di titik B atau titik C. Terlambat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atau sama sekali tidak mendaftarkan diri, termasuk dalam pengertian tidak mendaftarkan diri. Dengan demikian, apabila Tuan Ahmad baru mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP di titik D maka termasuk dalam pengertian tidak mendaftarkan diri… dan silahkan lihat di UU KUP sanksi apa yang akan dikenakan pada Tuan Ahmad. Di samping itu, meskipun Tuan Ahmad baru ber-NPWP di titik D, maka tetap saja utang pajak timbul mulai dari titik C dan tetap harus dibayar..

Simpulan
Bukan NPWP yang menimbulkan utang pajak, tetapi utang pajak yang menimbulkan kewajiban ber-NPWP..

Selengkapnya ..

Permisiii...

Diposting oleh begawan5060 on Kamis, 10 November 2011

Ijinkanlah saya “berhalo-halo” sebentar, ya….

Buat sobat-sobat yang berdomisili di Yogyakarta dan sekitarnya, dan di mana saja berada (uups.. kaya penyiar tivi) mohon diketahui bahwa Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Yogyakarta akan menyelenggarakan Lokakarya Perpajakan dengan pokok bahasan Pengelolaan Faktur Pajak dan Permasalahannya, pada tanggal 07 Desember 2011 bertempat di Restoran Pacific, jalan Magelang Yogyakarta (depan TVRI).

Bagi yang berminat untuk ikut bergabung, silahkan klik di sini. untuk detail informasinya..

Terima kasih..

Selengkapnya ..
Langganan: Postingan (Atom)